Jumat, 04 Januari 2013

Konsep Manusia Ekonomi

Perspektiv Konvensional vs Syariah

(Kali ini penulis akan membandingkan sudut pandang psikologis-konsep manusia ekononomi, menurut ekonomi konvensional dengan ekonomi Islami, berdasarkan buku The Future of Economics: An Islamic Perspective oleh Umer Chapra )
Ketika wahyu dianggap tidak mempunyai pengaruh dalam proses penentuan “benar vs salah”; “disukai vs tak disukai”; “adil vs tidak adil”; maka sebagai konsekuensinya (ekonomi konvensional) keudian HARUS mencari cara-cara lain untuk menentukannya (sebagai alternative-nya). Pendekatan “utilitarianisme hedonis ” adalah salah satu yang dianjurkan sebagai alternative tersebut. Ketika alternative ini dipakai, maka kemudian benar dan salah akan ditentukan atas dasar penghitungan kriteria “kesenangan” (sebagai kebenaran) dan “kesusahan” (sebagai kesalahan). Pendekatan ini akan membuka jalan pada pengenalan filsafat –filsafat, yakni sosial Darwinisme, Materialisme dan Determinisme. Pertanyannya, adakah yang salah dengan hal ini?
Filsafat sosial Darwinisme adalah kepanjangan tangan dari prinsip-prinsip kelangsungan hidup bagi yang lebih baik dan seleksi alam Darwinisme kepada tatanan masyarakat. Penerapan filsafat tersebut “dengan kurang hati-hati” sebenarnya akan membawa kecenderungan pada pen-sah-an konsep “kekuatan adalah kebenaran” secara terselubung dalam tatanan hubungan kemanusiaan. Sehingga hal ini membawa implikasi bahwa kaum miskin dan tertindas adalah pihak yang salah dan patut disalahkan, karena kemiskinan dan kesengsaraan yang menimpa diri mereka sendiri (adalah karena mereka kesalahan sendiri sehingga tidak punya daya saing oleh karenaya patut dengan sendirinya untuk terkalahkan dalam seleksi alam). Lebih jauh lagi, kaum miskin seharusnya tidak dibantu, karena jika dibantu, hal ini adalah tindakan melawan mekanisme seleksi alam Darwinisme itu sendiri dan memperlambat proses evolusi socsal masyarakat. Konsep inilah yang kemudian membuat kaum kaya dan penguasa lebih bisa “menenangkan” suara hati nurani mereka dan merasa “tidak bersalah” dari tanggung jawab sosial dan moral untuk menghilangkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan dalam sistem yang ada. Singkatnya, biarkan saja kaum miskin tambah miskin dan makin tertinggal, atau bahkan mati sekalipun; dan sama sekali jangan dibantu; karena seperti inilah alam ini bekerja, yakni mempertahanan hidup bagi mereka yang lebih kuat atau terkuat saja (dalam asumsi Darwinisme mereka). KAPITALISME
Filsafat Materialisme cenderung untuk meningkatkan kekayaan, kesenangan dan semua kenikmatan fisik (lahiriah) sebagai tujuan dari usaha manusia. Hal inilah yang menjadi dasar budaya konsumerisme pada zaman ini, yang cenderung selalu meningkatkan cara konsumsi masyarakat dan menggandakan tingkat “kerakusan” masyarakat untuk mengkonsumsi di atas kemampuan sumber daya yang dimiliki. Dengan merujuk kepada etos budaya di atas, proporsi ilmu ekonomi konvensional yang tidak controversial adalah bahwa jumlah besar yang beraneka ragam tentu lebih baik daripada kekurangan, dan hal ini akan meningkatkan produksi, memperbanyak harta kekayaan, dan meningkatkankonsumsi barang-barang kebutuhan pokok. Menjadi sesuatu yang tidak diinginkan bila masyarakat harus mengorbankan tujuan-tujuan materi mereka demi mengurangi biaya-biaya non-ekonomi (seperti kegiatan amal sosial, pelestarian lingkungan, dsb) demi produksi dan konsumsi yang lebih besar dan selanjutnya me-realisasi-kan keadilan dan keharmonisan social dan masyarakat. EKSPLOITASI
Filsafat Determinisme membawa implikasi bahwa manusia memiliki kontrol yang lemah terhadap pola tingkah laku mereka. Malahan, tindakan-tindakan yang dilakukan manusia dianggap sebagai mekanis dan respon atas otomatis terhadap rangsangan eksternal sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan hewan (Watson dan Skinner), mental bawah sadar manusia menunjukkan jauh di atas kontrol individu secara sadar (Freud) atau konflik social ekonomi (Marx). Jadi, filsafat determinisme tidak hanaya meniadakan perbedaan dan keruwetan dalam diri manusia saja, tetapi sedikit membawa kepada filsafat social Darwinisme guna “menolak” tanggung jawab moral dalam tingkah laku manusia. Saat mana suasana yang dikontrol oleh kebiasaan-kebiasaan setiap setiap individu jauh di atas kemampuan kontrol mereka, maka orang-orang kaya dan penguasa tak dapat dipersalahkan atas “hal-hal” yang menimpa kaum miskin dan orang-orang yang tertindas. INDIVIDUALIS
Terlihat bahwa semua pendekatan “yang dianggap (oleh pendukungnya sebagai) ilmiah dan rasional” di atas sama sekali menurunkan moral dan tidak sesuai dengan tujuan-tujuan kemanusiaan. Hal ini tentu berbeda dengan sangat kontras dengan pandangan hidup yang religious, yang menganggap bahwa manusia bertanggungjawab pada setiap tindakan mereka dan selanjutnya akan dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan. Dan, sifat dari ekonomi Islami itu sendiri yang bertujuan pada perlindungan pada al maqasidus syariah.
Dalam bahasa penulis sendiri, maka Ekonomi konvensional secara dasar filsafatnya, tampak sekali begitu mengutamakan kehidupan yang sangat “individualis”. Pengorbanan kepentingan pribadi demi kepentigan masyarakat yang lebih besar adalah sebuah kesalahan mutlak, karena bertentangan dengan seleksi alam Darwinisme maupun dua filsafat yang berikutnya di atas. Sebaliknya, ekonomi Islami, dibentuk atas dasar wahyu dan religious. Manusia dengan pemahaman ekonomi Islami akan seimbang dalam memenuhi kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Dalam ekonomi Islami, persaingan dalam kebaikan begitu didukung, karena dengan demikian akan terjadi perbaikan yang berkesinambungan dalam masyarakat. Namun demikian, pengorbanan juga bernilai positif, karena dalam setiap harta yang dimiliki ada hak orang lain yang harus ditunaikan.
Meskipun persaingan, yang juga diperbolehkan dalam ekonomi Islami, ada di ekonomi konvensional. Namun nilai pengorbanan yang menjadi tujuan kemanusiaan, yang juga ada dan menjadi sebuah nilai kebaikan dalam ekonomi Islami, sama sekali tidak ada bahkan tidak menjadi tujuan bagi ekonomi konvensional. Di sinilah letak kelebihan ekonmi Islami dari sisi keseimbangan antara individu dan sosial.
Pemahaman ini, jika kemudian dilanjutkan pada perbandingan antara ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam, terkait bagaimana pandangan keduanya terhadap konsep manusia ekonomi: rational-according to conventional economics vs Islamic rational, dengan mengutip penjelasan dari ibu Sri Mulyani pada Diskusi Buku the Future of Economics: An Islamic Perspective – Mencari Landscape Baru Perekonomian Indonesia masa Depan oleh KEI FSI, SM FEUI dan senat Mahasiswa SEBI, di Auditorium FEUI Depok, 16 Juni 2001, adalah sbb:
“Di situ disebutkan kegagalan pasar disebakan asimetric information yang disebabkan moral Hazard. Sebenarnya, bila orang Islam menjalankan Islam dengan sesungguhnya pasti tidak akan terjadi asimetric information dan moral hazard karena orang Islam selalu mengatakan ;’walaupun kamu ada di kutub dunia atau di dalam kamar sendiri, kamu tidak bisa melakukan moral hazard karena ada yang mengawasi. Karena ada informasi yang lengkap , info lengkap itu dari Tuhan. Jadi ada self built in mechanism di dalam mental yang menyatakan: saya sebetulnya bisa menipu tapi saya tidak akan menipu. Padahal kalau di dalam ilmu ekonomi konvensional seseorang kalau diberi opportunity untuk menipu, di “pasti” menipu. Itu yang disebut rational behavior according to conventional economics, ini telah jelas.”
Kesimpulan dari penulis atas tulisan di atas adalah sebagai berikut:
1. Konsep “benar dan salah” dalam peniliaian manusia-ekonomi pada manusia ekonomi Islami adalah didasarkan pada wahyu (Qur’an dan hadist; yang mana berorientasi pada perlindungan maqqasidus as syriah yang menyeimbangkan antara pemenuhan kepentingan probadi dengan kepentingan masyarakat). Sebaliknya, konsep benar dan salah pada manusia-ekonomi konvensional adalah filsafat hedonism, di mana benar dan salah direduksi pada penilaian menurut Darwinisme social (kebenaran=kekuatan, kekayaan, kekuasaan; dan kesalahan=kemiskinan, ketertindasan; di mana menurut filsafat ini “tidak boleh” bagi yang kaya untuk membantu yang miskin karena itu bertentangan dengan seleksi alam dan evolusi masyarakat); menurut Materialisme (kebenaran=ekspoitasi sumber daya alam guna mencapai kenikmatan fisik yang maksimal; kesalahan=aktivitas social non ekonomi, dan aktivitas yang tidak berdampak langsung pada “keuntungan mterial’ mislakan pelestarian lingkungan; yang mana ini kemudian membawa pada eksploitasi alam) serta Determinisme (mirip social Darwinisme yang menolak tanggung jawab moral dan tingkah laku manusia).
2. Ekonomi konvesional, melalui doktrin, manusia rational-nya menafikkan nilai moral dan kebaikan dalam diri manusia. Dalam pandangannya, manusia adalah pribadi yang individualis dan begitu mengutamakan self interest. Malakukan segala macam cara, walau harus menipu sekalipun, guna mencapai tujuannya. Sehingga bangunan Corporate Governance yang ada dalam sistem ini dibangun dengan penilaian awal bahwa sistem tatakelola yang dibangun harus bisa “menutup” segala akses agar manusia yang menurut mereka semuanya penuh nafsu dan rasional ini kemudian bisa “dikendalikan” dalam sebuah sistem. Mereka tidak mengenal istilah pendekatan moral untuk mengatur behavior manusia. Sebaliknya, dalam ekonomi Islami, sistem ini memandang bahwa manusia , selain meiliki potensi kejelekan, juga memiliki potensi kebaikan,. Sehingga tatakelola yag dibangun dengan dasar ini kemudian akan membuat sebuah sistem yang juga “menutup” akses bagi potensi jahat untuk bisa keluar. Namun, di sisi lain, ekonomi islami yang relijius ini tidak menafikkan untuk melakukan pendekatan moral untuk mengatur perilaku manusia karena pada dasarnya mereka juga memiliki potensi positif. (Dan menurut penulis, inilah yang lebih ideal, sebab jika menutup mata pada pendekatan moral, bahkan dalam ekonomi yang dibangun atas dasar konvesional pun, para ekonom konvensional kemudian menghadapi sebuah masalah, sebagai contoh adalah apa yang tertulis dalam buku Kieso: Intermediate Accounting; sesorang (akuntan) bahkan, bisa melakukan untuk kegiatan yang “melanggar hukum (misalkan korupsi atau pencucian uang)” namun laporan keuangan yang dibuat masih “memenuhi” aturan standard akuntansi.)
Penulis adalah Ardiansyah Selo Y.
Undergraduate Student
Accounting Department
Faculty of Economy University of Indonesia
Referensi:
- The Future of Economics: An Islamic Perspective, Umer Chapra
- Hasil Diskusi Buku: The Future of Economics: An Islamic Perspective – Mencari Landscape Baru Perekonomian Indonesia Masa Depan oleh KEI FSI, SM – FEUI adan Senat Mahasiswa SEBI, Auditorium FEUI Depok, 16 Juni 2001
- Intermediate Accounting, Donald e. Kieso et all. Eleventh Edition.
- Pemahaman atas Materi dari Mata Kuliah Corporate Governance

Sebuah Kajian Ekonomi

SILATURAHIM


Dalam khazanah bahasa arab, Silaturahim terdiri dari dua kata yaitu Shilah dan Rahim. Kata Shilah merupakan bentuk mashdar dari kata kerja Washola yang memiliki arti menyambung. Sedangka kata Rahim yang merupakan bentuk singular dari Arhaam dapat kita artikan dengan sanak saudara yang tidak tergolong ahli waris. Rahim mencakup seluruh kerabat jauh kita yang tidak mendapatkan hak waris atas harta kita seperti cucu dari saudara kakek kita. Bahkan secara umum kata Rahim juga mencakup seluruh umat manusia karena mereka berasal dari kakek yang sama yaitu Nabi Adam.
Berbeda dengan pemahaman kebanyakan masyarakat selama ini, silaturahim tidak terbatas kepada berkunjung ke rumah sanak keluarga saja. Namun lebih dari itu, silaturahim juga bisa diimplementasikan dengan segala tindakan yang dapat memperbaiki hubungan baik kita dengan kerabat atau orang lain yang berada di sekitar kita. Silaturahim juga tidak terbatas dengan orang yang sudah memiliki hubungan baik dengan kita. Sebalikya, silaturahim malah harus kita lakukan kepada orang yang memiliki hubungan kurang baik atau bahkan memutuskan hubungan dengan kita. Rasulullah saw. Bersabda “orang yang memelihara silaturahim itu bukan sekedar orang yang menjalin hubungan dengan orang yang sudah memiliki hubungan baik dengannya. Namun lebih dari itu, orang yang benar-benar memelihara silaturahim adalah orang yang menyambungnya kembali jika telah terjadi putusnya hubungan”(HR. Bukhori)
Silaturahim dan Economic Development
Seluruh tatanan dan ajaran yang telah disyariatkan oleh Allah memiliki makna dan manfaat tersendiri bagi kehidupanan manusia. Aturan agama yang telah ditetapkan oleh Allah tidak lain adalah panduan terbaik bagi kehidupan manusia. Silaturahim misalnya, memiliki fungsi yang sangat signifikan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi kehidupan manusia tidak kecuali dalam bidang ekonomi. Bahkan silaturahim memiliki peran yang sangat signifikan bagi pembangunan sebuah perekonomian.
Dalam sebuah tatanan masyarakat, silaturahim mampu membangun kepedulian sosial dan solidaritas di mereka. Silaturahim yang kuat diantara masyarakat akan melahirkan sebuah hubungan informal yang selanjutnya akan meningkatkan semangat kerja sama di antara mereka. Hubungan informal dan kerja sama yang kuat inilah oleh Francis Fukuyama disebut dengan social capital. Menurut Fukuyama, tatanan ekonomi dunia yang baru tidak boleh meninggalkan potensi peranan penting dari adanya sebuah kontrak social yang merupakan modal utama bagi pembangungan ekonomi.
Senada dengan Fukuyama, pakar ekonomi islam kontemporer Dr. Umar Capra juga menganggap pentingnya sebuah nilai-nilai kekeluargaan dan solidarita di antara masyarakat. Dalam pandangannya, nilai-nilai social dan solidaritas masyarakat mampu menjawab kegagalan konsensus Keynesian yang menyebabkan deficit fiscal dan inflasi yang tinggi pada dasawarsa 1970-an.
Menurut Dr. Umar Capra, konsensus keynsian yang berusaha memperbaiki dampak negative “Hukum Say” memiliki kelemahan yang sama dengan “Hukum Say” tersebut. Menurutnya kalau “Hukum Say” meletakkan beban realisasi pada pasar, sebaliknya revolusi Keynesian meletekkan beban mengkoreksi ekuilibrium pengangguran terhdadap pemerintah. Keduanya sama-sama tidak melibatkan nilai kekeluargaan dan solidaritas social dalam merealisasikan kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, obat yang ditawarkan oleh JM. Keynes dalam menghadapi Great Depression pada tahun 1930-an tersebut, hanya mampu bekerja untuk jangka waktu sementara. Namun pada akhirnya, obat tersebut malah menjadi penyakit baru bagi perekonomian dunia dengan munculnya Stagflasi di era 1970-an yang tidak kalah menyengsarakannya.
Selain itu, semangat silaturahim juga mampu membangun rasa simpati dan empati kita terhadap sesama. Dengan silaturahim, kita dapat mengetahui secara langsung keadaan orang yang berada di sekeliling kita. Oleh karenanya, kedua mata kita akan terbuka lebar akan realitas kehidupan masyarakat sekitar kita yang pada akhirnya dapat menyadarkan kita untuk bisa berbagi dengan sesama. Dengan demikian, teori Rational Economic Man ala Edgeworth yang selama ini menjadi landasan ekonomi kapitalis tidak berlaku lagi. Perilaku setiap agen ekonomi tidak lagi digerakkan oleh self-interest masing-masing. Namun, lebih jauh lagi mereka juga akan berperilaku untuk kepetigan masyarakat secara luas. Hal inilah yang menurut Ekonom Faisal Bashri menjadi point tersendiri bagi pembangunan perekonomian daerah yang terkena bencana. Menurut dia, rasa kekeluargaan dan empati masyarakat Indonesai mampu mempercepat proses Recovery sebuah daerah pasca terjadinya bencana alam.
Silaturahim dan Keberhasilan Bisnis
Kalau kita ingin rizqi kita lancar dan mudah, maka silaturahimlah salah satu resepnya. Rasulullah bersabda “Barang siapa yang ingin diluaskan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah dia menyambung silaturahim”(HR. Bukhori dan Muslim).
Mungkin kita sering bertanya dalam hati, apa korelasi antara silaturahim dengan mudahnya rizki?bukannya silaturahim itu sendiri membutuhkan biaya?silaturahim ke saudara misalnya, pasti membutuhkan biaya transportasi, oleh-oleh untuk saudara dan lain sebagainya. Apalagi kalau rumah saudara yang kita silaturahimin tersebut jauh.
Memang kalau kita lihat sekilas seakan terjadi paradox antara hadits di atas dengan pemikiran dangkal kita selama ini. Namun, kalau kita teliti lebih dalam lagi kita akan mengetahui bahwa dalam jangka panjang silaturahim memiliki peranan penting bagi terbukanya rizki kita. Dalam pandangan penulis ada dua hal penting yang dapat menjelaskan pandangan tersebut.
Pertama, silaturahim dapat membantu kita untuk dapat melihat peluang dari sebuah bisnis. Bahkan terkadang kita dapat mempelajari sebuah bisnis dari seseorang yang menjadi tujuan silaturahim kita. Hal inilah yang oleh Habiburrahman Al-Sairozy digambarkan dalam sosok Azam yang menjadi tokoh utama dalam novel Best Sellernya “Ketika Cinta Bertasbih”. Dalam novel yang skual filmnya meledak tersebut, Azam digambarkan sebagai seorang spesialis tempe yang menguasai pasar kota Kairo tempat dia kuliah. Anehnya ternyata kemahirannya membuat tempe tersebut didapatkan sewaktu dia bersilaturahim ke rumah seorang temannya.
Kedua, silaturahim dapat membangun sebuah jaringan yang luas serta kokoh. Di mana dengan jaringan yang luas dan kokoh itulah bisnis serta usaha kita bisa eksis dan berkembang. Jaringan yang kuat disertai kemauan keras inilah yang menjadi salah satu foktor utama keberhasilan bisnis orang China. Meski pada mulanya bisnis yang mereka geluti tergolong kecil, namun dengan jaringan yang luas dan kokoh yang mereka miliki, bisnis mereka mampu merangkak naik dengan perlahan-lahan. Bahkan dengan jaringan kuat yang dimilikinya, tidak jarang mereka mampu memonopoli sebuah pasar hanya untuk kalangan mereka sendiri.
Lebih dahsyatnya lagi, spirit silaturahim telah mampu menjiwai beberapa teori marketing era baru. Menurut Aa Gym silaturahim tidak lain adalah kekuatan network marketing. Dalam teori marketing terbaru, hubungan antara produsen dengan cutomernya tidak lagi berupa hubungan formal yang kaku. Namun lebih dari itu, produsen juga harus mengadakan silaturahim dan pendekatan kepada para custumernya. Hal ini sangat penting dalam membangun loyalitas customernya. Wallahu a’lam

Etika Bisnis dalam Perspektif Islam


Bisnis merupakan salah satu dari sekian jalan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Artinya Allah SWT telah memberikan arahan bagi hamba – Nya untuk melakukan bisnis. Dalam Islam sendiri terdapat aturan maupun etika dalam melakukan bisnis. Kita sudah diberikan contoh riil oleh Rasulullah SAW.bagaimana beliau melakukan bisnis dengan cara berdagang. Bahkan hal tersebut telah dilakukannya dari kecil ketika diajak pamannya Abu Thalib untuk berdagang ke Syam. Dan dimana ketika seorang saudagar wanita kaya yakni Siti Khadijah r.a mempercayai beliau untuk menjual dagangannya kepasar maka, Rasulullah pun melaksanakannya dengan kejujuran dan kesungguhan. Dalam pandangan Islam terdapat aturan ataupun etika yang harus dimiliki oleh setiap orang yang mau melakukan bisnis apalagi dia adalah seorang mukmin. Seorang mukmin dalam berbisnis jangan sampai melakukan tindakan – tindakan yang bertentangan dengan syariat. Rasulullah SAW.banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis, di antaranya ialah: Pertama, bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda: “Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R. Al-Quzwani). Kedua, dalam Islam tidak hanya mengejar keuntungan saja (profit oriented) tapi, juga harus memperhatikan sikap ta’awun (tolong – menolong) diantara kita sebagai implikasi sosial bisnis. Ketiga, tidak melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad SAW sangat intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis. Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda, “Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah”. Dalam hadis riwayat Abu Dzar, Rasulullah saw mengancam dengan azab yang pedih bagi orang yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan memperdulikannya nanti di hari kiamat (H.R. Muslim). Keempat, bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang bathil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu” (QS. 4: 29). Kelima, bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman (QS. al-Baqarah:: 278) dan masih banyak lagi etika ataupun petunjuk bisnis dalam Islam. Semua yang disebutkan diatas harus benar – benar dilakukan agar apa yang kita lakukan mendapat ridho- Nya.
Selain kita berhubungan dengan manusia yang lain (hablum minannas) kita juga harus menjalin hubungan dengan Sang Khaliq (hablum minallah), sehingga dalam setiap tindakan kita merasa ada yang mengawasi yakni Allah SWT. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena bisnis dalam Islam tidak semata – mata orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak  harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan sebab, bisnis yang merupakan simbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akhirat. Artinya, jika  oreientasi bisnis dan upaya investasi  akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan kepada Allah SWT), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang dibisniskan (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat.
Jika sekiranya kaum muslimin mengetahui dan memahami apa saja yang harus ada pada pribadi pembisnis yang sesuai dengan dustur yang telah ada ( Al- Qur’an dan Al- hadits), maka niscaya akan tercipta suasana yang harmonis serta akan terjalin ukhuwwah Islamiyah diantara kita. Dan hanya kepada –Nya lah semua urusan dikembalikan. Yaa Illaahi Anta maqshudi wa ridhooka mathlubi. Wallahua’lam.